Hening, Sabar, dan Berserah: Jalan Pulang Menuju Diri Sendiri
Dalam hidup, tidak semua hal datang dengan penjelasan yang jelas. Ada masa ketika kita berjalan tanpa benar-benar tahu ke mana arah langkah membawa kita. Di tengah hiruk pikuk dunia, sering kali kita lupa bahwa hening juga bagian dari perjalanan—bahkan sering menjadi awal dari pemahaman yang paling dalam.
Ada saatnya kata-kata terasa berlebihan. Bukan karena tak ada yang ingin diucapkan, tetapi karena hati sedang belajar menerima. Dalam diam, kita berhenti melawan. Dalam hening, kita mulai mendengar—bukan suara di luar, melainkan suara yang selama ini terabaikan di dalam diri.
Diam bukan tanda menyerah.
Ia adalah ruang bagi jiwa untuk bernapas.
Ketika hidup terasa berat, kita kerap memaksa diri untuk tetap kuat. Padahal, tidak apa-apa mengakui bahwa kita lelah. Tidak apa-apa berhenti sejenak. Bersandar bukan berarti gagal, melainkan bentuk kejujuran pada diri sendiri bahwa kita juga manusia yang memiliki batas.
Di sanalah sabar bekerja dengan caranya yang sunyi.
Sabar bukan menunggu tanpa harapan, melainkan percaya bahwa setiap hal memiliki waktunya sendiri. Tidak semua yang tertunda berarti ditolak, dan tidak semua yang lambat berarti salah jalan.
Lalu datanglah fase berserah—bukan menyerah, melainkan melepas kendali setelah melakukan yang terbaik. Berserah adalah saat kita berkata, “Aku sudah berusaha, selebihnya aku titipkan pada Yang Maha Mengetahui.” Di titik ini, hati mulai tenang, karena beban tidak lagi dipikul sendirian.
Hening mengajarkan kita untuk mendengar.
Sabar mengajarkan kita untuk bertahan.
Dan berserah mengajarkan kita untuk percaya.
Mungkin hidup bukan tentang seberapa cepat kita sampai, tetapi tentang seberapa jujur kita menjalani setiap langkah. Dan ketika kita akhirnya berhenti sejenak, menoleh ke dalam, kita akan menyadari—bahwa perjalanan ini, dengan segala lelah dan sunyinya, sedang membawa kita pulang pada diri sendiri.

0 Komentar