Aku Menanti


Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan pinus, terdapat sebuah rumah tua di pinggir danau. Di rumah itu tinggal seorang perempuan bernama Lila. Setiap sore, Lila duduk di beranda rumahnya, memandangi danau yang tenang, menanti sesuatu yang bahkan ia sendiri tak yakin kapan datangnya.


Sudah lima tahun berlalu sejak perpisahan itu. Lima tahun sejak Arman, kekasihnya, pergi meninggalkan desa untuk mencari penghidupan yang lebih baik di kota. Ia berjanji akan kembali membawa kehidupan yang lebih layak bagi mereka berdua. Namun, waktu terus berlalu tanpa kabar. Lila tetap menanti dengan keyakinan yang mulai terkikis oleh keraguan.


Di sisi lain desa, seorang pemuda bernama Danu sering memperhatikan Lila dari kejauhan. Ia telah lama menyimpan perasaan pada Lila, tetapi tak pernah punya keberanian untuk mendekat. Danu tahu hatinya tak bisa menandingi cinta Lila pada Arman, tapi ia juga tahu bahwa menunggu dalam kesendirian hanyalah membawa luka yang semakin dalam.


Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam di balik pepohonan, Danu akhirnya memberanikan diri menghampiri Lila. Ia membawa sekeranjang buah yang dipetik dari kebunnya.


“Lila,” sapanya lembut.


Lila menoleh dan tersenyum kecil. “Hai, Danu. Ada apa?”


“Aku hanya ingin mengantarkan ini. Kebetulan tadi memetik buah, kupikir kamu mungkin suka.” Danu meletakkan keranjang itu di dekat kursi Lila.


“Terima kasih, Danu. Kamu selalu baik padaku,” jawab Lila, suaranya pelan.


“Lila...” Danu ragu-ragu, tapi akhirnya melanjutkan, “Kenapa kamu terus menunggu? Lima tahun itu waktu yang lama.”


Lila menunduk. “Aku tahu. Tapi janji adalah janji. Aku ingin percaya bahwa Arman akan kembali.”


“Bagaimana kalau dia tidak kembali? Apa kamu akan terus menunggu selamanya?” tanya Danu, suaranya penuh harap dan rasa sakit.


“Aku tidak tahu, Danu. Tapi aku mencintainya, dan itu alasan cukup bagiku untuk menanti,” jawab Lila tegas, meski ada getar di suaranya.


Danu mengangguk pelan, meskipun hatinya remuk. Ia tak ingin memaksa Lila, tapi ia juga tak sanggup melihatnya tenggelam dalam penantian yang mungkin sia-sia.


Hari-hari berlalu, dan musim berganti. Hujan mengguyur desa, daun-daun gugur, lalu mekar kembali. Lila tetap setia di berandanya setiap sore, memandangi danau, berharap melihat sosok yang ia rindukan muncul di kejauhan.


Namun pada suatu hari, seorang lelaki asing muncul di desa. Rambutnya acak-acakan, pakaiannya kumal, dan wajahnya terlihat lelah. Ia berjalan menuju rumah Lila, mengetuk pintunya dengan tangan gemetar. Lila membukakan pintu dan terdiam. Di hadapannya berdiri Arman, tapi ia tak lagi seperti yang ia ingat.


“Arman?” bisik Lila, suaranya serak.


“Lila, aku kembali,” jawab Arman, matanya basah. “Maafkan aku. Aku gagal. Aku tak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik seperti yang kujanjikan. Aku terlalu lama tersesat dalam usahaku, hingga lupa waktu.”


Lila memandangnya lama, mencoba memahami campuran perasaan yang membanjiri dirinya. Akhirnya ia tersenyum kecil, meski ada air mata di sudut matanya.


“Aku sudah menunggumu, Arman. Itu sudah cukup bagiku,” katanya pelan.


Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Di kejauhan, Danu menyaksikan semuanya. Ia tahu bahwa Lila akhirnya mendapatkan yang ia tunggu, tetapi hatinya kini hancur sepenuhnya. Dengan berat hati, ia berbalik dan berjalan pulang, meninggalkan impiannya yang tak pernah menjadi nyata.


Hari-hari berlalu setelah kembalinya Arman. Namun, hidup tak lagi seperti yang Lila bayangkan. Arman, yang kini hanya bayangan dirinya yang dulu, tampak sulit beradaptasi dengan kehidupan desa. Ia sering termenung, wajahnya dipenuhi rasa bersalah.


“Lila, aku merasa tidak layak untukmu,” ucap Arman suatu malam. “Aku pulang tanpa apa-apa, hanya membawa diriku yang gagal.”


“Arman, aku tidak peduli tentang itu. Yang penting, kamu ada di sini bersamaku,” jawab Lila, mencoba meyakinkan.


Namun, Arman tetap merasa asing, bahkan dengan dirinya sendiri. Ia mulai jarang bicara dan sering menghindar. Hal ini membuat Lila cemas, tetapi ia tetap berusaha bersabar.


Pada suatu sore yang mendung, Arman mendatangi Lila di danau.


“Lila, aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Tapi aku juga harus jujur. Aku merasa tidak lagi bisa menjadi bagian dari duniamu. Aku telah berubah, dan aku tak ingin menahanmu di sini hanya karena aku kembali,” katanya dengan nada getir.


Air mata mengalir di pipi Lila. “Arman, aku telah menunggumu selama ini. Tapi jika kau merasa pergi adalah jalan terbaik, aku tak akan menghalangimu lagi.”


Arman tersenyum lemah. Ia menggenggam tangan Lila untuk terakhir kalinya, lalu beranjak pergi meninggalkan desa itu, kali ini dengan perasaan damai.


Beberapa minggu berlalu. Danu yang selama ini menjaga jarak dari Lila akhirnya memutuskan untuk kembali mengunjunginya. Ketika ia tiba di rumah Lila, ia menemukan Lila sedang tersenyum di beranda, memandangi danau yang sama seperti dulu. 


“Lila,” sapanya, penuh keraguan.


Lila menoleh, wajahnya cerah meski matanya menunjukkan sisa kesedihan. “Hai, Danu. Duduklah. Aku senang kamu datang.”


Danu mendekat dan duduk di samping Lila. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari kebun Danu hingga tentang masa depan. Dalam percakapan itu, Lila menyadari sesuatu yang selama ini terlewatkan: cinta sejati adalah tentang mereka yang tetap tinggal meski dunia terasa rapuh.


Hari-hari berikutnya, Lila dan Danu mulai menghabiskan waktu bersama. Meski luka penantian itu masih ada, perlahan Lila menemukan kebahagiaan baru. Dan di sisi danau yang dulu hanya dipenuhi kenangan, kini ia menemukan cinta yang penuh kehangatan.


Untuk pertama kalinya, Lila berhenti menunggu. Ia melangkah maju, menuju hari esok yang penuh harapan.


Selesai....
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar